Jenius, termashur, miskin dan mati muda

William sidis oleh naufal

Pada umur lima tahun, anak itu sudah menulis satu risalah tentang anatomi. Pada umur delapan, ia memperkenalkan satu tabel logaritma baru. Pada umur 11, ia sudah masuk Harvard University dan memberikan ceramah yang menakjubkan tentang “jasad empat dimensional”.

Tak ada yang menduga bahwa William Sidis, jenius itu, pada tahun 1944 meninggal dalam keadaan menganggur, terasing, miskin.

Orang kemudian teringat ayahnya, seorang ahli psikologi bernama Boris. Orang ini sedang dengan sengit mencoba memperkenalkan sebuah metode pendidikan baru, dan anaknyalah yang jadi contoh. Dalam sebuah buku yang diberi judul Philistine and Genius – sudah tentu dengan nada yang memancing kontroversi – Boris Sidis menyerang pendidikan konvensional. Hanya dengan merangsang pertumbuhan sejak dini, kata Boris Sidis, kita dapat mencegah “kejahatan, perbuatan kriminal, dan penyakit”.

Boris sendiri memamerkan apa yang dipraktekkannya. Setiap kali anaknya, William, menampilkan kehebatan yang menakjubkan, sang psikolog dan ayah itu mengundang pers. Para wartawan pun meliput, dunia mendengarkan, dan semua orang-tua  Amerika menyimak, ingin meniru dan berharap bahwa anak yang diasuhnya juga akan jadi William Sidis.

Tetapi bahagiakah William? Ia kemudian memang menyelesaikan pendidikannya di college. Tetapi anak ini dengan diam-diam menampik masa depan yang petanya sudah dibuat ayahnya bagi dirinya. Ia semakin lama semakin merasakan publisitas yang menyoroti dirinya mengganggu. Ia bahkan merasakan bagaimana tak enaknya belajar hal yang selama ini dikenal sebagai kehebatannya, terutama matematika.

William Sidis akhirnya meninggalkan pendidikan teingkat sarjananya, tanpa gelar. Ia memutuskan hubungan dengan keluarganya. Ia mengembara di dalam kerahasiaan, bekerja seadanya dari tempat ke tempat. Ia praktis ingin menghilang.

Tetapi untuk hal yang terakhir ini pun ia ternyata tak bisa menang. Di tahun 1937, majalah terkemuka New Yorker menerbitkan satu tulisan tentang dirinya dan kehidupannya yang tersembunyi. Esai itu, April Fool, ditulis oleh James Thurber, dengan nama samaran, berdasarkan suatu wawancara antara Sidis dan seorang wanita yang tak disebutkan namanya.

Di sana tergambar bagaimana keadaan William Sidis, dalam kilasan yang menyedihkan. Waktu itu Sidis sudah berusia 39 tahun. Ia dilukiskan tinggal sendiri di sebuah kamar di ujung selatan Boston yang “kusam” dan “tak rapih”. Di sana dilukiskan pula bagaimana William, sang jenius masa kanak itu, kini nampak kesulitan merumuskan kata yang tepat untuk mengemukakan pendapatnya. Dan bila ia temukan kata itu, “ia bicara cepat, menganggukkan kepalanya seperti sentakan untuk menandaskan apa yang dimaksudkannya, tangan kirinya bergerak sibuk dan kadang-kadang mengeluarkan bunyi ketawa yang aneh”.

James Thurber memang seorang penulis yang pintar. Tetapi, begaimanapun juga, lukisan diri Sidis di situ memang bisa menusuk. Lebih penting lagi: William yang hendak bersembunyi dari publisitas dan masa lalunya, kini harus kembali tampil di depan umum, dalam posisi telanjang, rudin, payah. Maka ia pun mengadukan New Yorker ke pengadilan.

Pengacaranya menganggap apa yang ditulis New Yorker sebagai suatu pelanggaran atas hak Sidis untuk menjaga kehidupan pribadinya dari soroton umum. Terlebih lagi, di dalamnya ada kecenderungan mencemooh, merendahkan, dan bahkan menghina. Si penulis April Fool harus dihukum.

Tapi mahkamah mengalahkan Sidis. Orang tak punya wewenang, menurut hukum, menghapuskan kemasyhuran masa kecilnya. Lagi pula, pada saat seorang jadi tokoh masyarakat, makin sedikit ia dapat mengklaim hak untuk privacy. Hidup pribadinya akan selalu disoroti.

Tentu saja benar. Sidis telah jadi seperti halnya politikus dan bintang film dan sejenisnya. Tetapi bila kemasyhuran seorang pemimpin atau seorang bintang film merupakan hasil ikhtiar sendiri, bagaimana dengan kemasyhuran William di masa kecil? Bukankah iyu hanya hasil desain ayahnya, yang waktu itu tak bisa ia tolak?

Memang. Tetapi di situ pun nampak betapa tragisnya posisi Sidis. Ia ternyata juga tak bebas menolak jejak orang-tua yang membekas di wajahnya, setelah begitu jauh ia melarikan diri. Sebenarnya, suatu hal yang mengagumkan, dan mengharukan, bahwa ia telah mencoba untuk jadi dirinya sendiri dengan memilih hidup yang miskin dan tak dikenal. Tapi ia ternyata tak lagi punya hak.

Di dalam kekalahannya yang terakhir, ia mati muda, mungkin belum lagi 45 tahun, dan nestapa, dan jadi cerita: bahwa manusia memang bisa dikarbit, dicetak, diarahkan – siapa bilang tidak. Tapi kelak, akhirnya, krisis akan menembak kita sebagai kita sendiri. Tanpa proteksi.

Salam
(nwfl)

Comments

  1. Play casino - No.1 for the Casino Guru
    No longer have the opportunity to go to the casinos communitykhabar or read the 1xbet korean reviews of the slots you love. But sol.edu.kg they're not always the same. Sometimes worrione.com you have a new online

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts