KEPEMIMPINAN MASA KINI

Sebelum berbicara tentang kepemimpinan transaksional dan transformasional, sebaiknya kita memahami dulu tentang arti kepemimpinan: Kepemimpinan merupakan suatu konsep relasi. kepemimpinan hanya ada dalam proses relasi dengan orang lain (para pengikut) . Apabila tidak ada pengikut, maka tidak ada pemimpin. tersirat dalam definisi ini adalah premis bahwa pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana membangkitkan inspirasi dan berralasi dengan para pengikut mereka. Kepemimpinan merupakan suatu proses. agar bisa mempimpin, pemimpin harus melakukan sesuatu. seperti telah diobservasi oleh John Gardner (1986-1988) kepemimpinan lebih dari sekedar menduduki suatu otoritas. Kendati posisi otoritas yang diformalkan mungkin sangat mendorong suatu proses kepemimpinan, namun sekedar menduduki posisi itu tidak menandai seseorang untuk menjadi pemimpin. kepemimpinan harus membujuk orang lain untuk mengambil tindakan. Pemimpin membujuk pengikutnya melalui berbagai cara, seperti menggunakan otoritas yang terelegitimasi, menciptakan model (menjadi teladan), penetapan sasaran, memberi imbalan dan hukum, restrukturisasi organisasi dan mengkomonikasikan visi. Konsep kepemimpinan transformasional dan transaksional didasari oleh teori kebutuhan atau motivasi maslow (kebutuhan fisiologis, keamanan dan keselamatan, sosial, penghargaan, dan aktualisasi diri). Menurut Bass dalam Robbins, (2008) kebutuhan pada tingkat yang lebih rendah bisa dipenuhi dengan baik oleh pola kepemimpinan transaksional sedangkan pemuasan kebutuhan pada tingkat yang lebih tinggi hanya bisa dipenuhi oleh pemimpin yang menerapkan pola kepemimpinan transformasional. Model Kepemimpinan Transaksional. Kepemimpinan transaksional adalah hubungan antara pemimpin dan bawahan serta ditetapkan dengan jelas peran dan tugas-tugasnya. Menurut Masi and Robert (2000), kepemimpinan transaksional digambarkan sebagai mempertukarkan sesuatu yang berharga bagi yang lain antara pemimpin dan bawahannya (Contingen Riward), intervensi yang dilakukan oleh pemimpin dalam proses organisasional dimaksudkan untuk mengendalikan dan memperbaiki kesalahan yang melibatkan interaksi antara pemimpin dan bawahannya bersifat pro aktif. Kepemimpinan transaksional aktif menekankan pemberian penghargaan kepada bawahan untuk mencapai kinerja yang diharapkan. Oleh karena itu secara pro aktif seorang pemimpin memerlukan informasi untuk menentukan apa yang saat ini dibutuhkan bawahannya. Berdasarkan dari uraian tersebut diatas, maka dapat dikatakan bahwa prinsip utama dari kepemimpinan transaksional adalah mengaitkan kebutuhan individu pada apa yang diinginkan pemimpin untuk dicapai dengan apa penghargaan yang diinginkan oleh bawahannya memungkinkan adanya peningkatan motivasi bawahan. Steers (1996). Bass dalam Yukl, (2007) mengemukakan bahwa hubungan pemimpin transaksional dengan karyawan tercermin dari tiga hal yakni: Pemimpin mengetahui apa yang diinginkan karyawan dan menjelasakan apa yang akan mereka dapatkan apabila kerjanya sesuai dengan harapan; Pemimpin menukar usaha-usaha yang dilakukan oleh karyawan dengan imbalan; dan Pemimpin responsif terhadap kepentingan pribadi karyawan selama kepentingan tersebut sebanding dengan nilai pekerjaan yang telah dilakukan karyawan. Karakteristik kepemimpinan transaksional ditunjukkan dengan prilaku atasan sebagai berikut (Bass dalam Robbins – Judge, 2008) : Imbalan Kontinjen (Contingensi Reward). Pemimpin melakukan kesepakatan tentang hal-hal apa saja yang dilakukan oleh bawahan dan menjanjikan imbalan apa yang akan diperoleh bila hal tersebut dicapai. Manajemen dengan pengecualian / eksepsi Aktif (Active Manajemen By exception). Pada manajemen eksepsi aktif pemimpin memantau deviasi dari standar yang telah ditetapkan dan melakukan tindakan perbaikan, serta melakukan tindakan perbaikan. Manajemen dengan pengecualian / eksepsi pasif (Pasive Manajemen By exception). Pada manajemen eksepsi pasif pemimpin melakukan tindakan jika standar tidak tercapai. Model Kepemimpinan Transformasional Menurut Bass dalam Swandari (2003) mendefinisikan bahwa kepemimpinan transformasional sebagai pemimpin yang mempunyai kekuatan untuk mempengaruhi bawahan dengan cara-cara tertentu. Dengan penerapan kepemimpinan transformasional bawahan akan merasa dipercaya, dihargai, loyal dan tanggap kepada pimpinannya. Kepemimpinan transformasional adalah tipe pemimpin yang menginsprirasi para pengikutnya untuk mengenyampingkan kepentingan pribadi mereka dan memiliki kemampuan mempengaruhi yang luar biasa, Aspek utama dari kepemimpinan transformasional adalah penekanan pada pembangunan pengikut, oleh karena itu, ada tiga cara seorang pemimpin transformasional memotivasi karyawannya, yaitu dengan: Mendorong karyawan untuk lebih menyadari arti penting hasil usaha; Mendorong karyawan untuk mendahulukan kepentingan kelompok; dan Meningkatkan kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti harga diri dan aktualisasi diri. Bass dalam Robbin dan Judge, (2008) mengemukakan adanya empat ciri karakteristik kepemimpinan transformasional, yaitu: A. Kharisma (Charisma) / Pengaruh yang Ideal Merupakan proses pemimpin mempengaruhi bawahan dengan menimbulkan emosi-emosi yang kuat, Kharisma atau pengaruh yang ideal berkaitan dengan reaksi bawahan terhadap pemimpin. Pemimpin di identifikasikan dengan dijadikan sebagai penutan oleh bawahan, dipercaya, dihormati dan mempunyai misi dan visi yang jelas menurut persepsi bawahan dapat diwujudkan. Pemimpin mendapatkan standard yang tinggi dan sasaran yang menantang bagi bawahan. Kharisma dan pengaruh yang ideal dari pemimpin menunjukkan adanya pendirian, menekankan kebanggan dan kepercayaan, menempatkan isu-isu yang sulit, menunjukkan nilai yang paling penting dalam visi dan misi yang kuat, menekankan pentingnya tujuan, komitmen dan konsekuen etika dari keputusan serta memiliki sence of mission. Dengan demikian pemimpin akan diteladani, membangkitkan kebanggaan, loyalitas, hormat, antusiasme, dan kepercayaan bawahan. Selain itu pemimpin akan membuat bawahan mempunyai kepercayaan diri. Sunarsih, (2001) B. Rangsangan intelektual (intellectual stimulation) Berarti mengenalkan cara pemecahan masalah secara cerdik dan cermat, rasional dan hati-hati sehingga anggota mampu berpikir tentang masalah dengan cara baru dan menghasilkan pemecahan yang kreatif. Rangsangan intelektual berarti menghargai kecerdasan mengembangkan rasionalitas dan pengambilan keputusan secara hati-hati. Pemimpin yang mendorong bawahan untuk lebih kreatif, menghilangkan keengganan bawahan untuk mengeluarkan ide-idenya dan dalam menyelesaikan permasalahan yang ada menggunakan pendekatan-pendekatan baru yang lebih menggunakan intelegasi dan alasan-alasan yang rasional dari pada hanya didasarkan pada opini-opini atau perkiraan-perkiraan semata. Bass dalam Sunarsih, (2001). C. Inspirasi (Inspiration) Pemimpin yang inspirasional adalah seorang pemimpin yang bertindak dengan cara memotivasi dan menginspirasi bawahan yang berarti mampu mengkomunikasikan harapan-harapan yang tinggi dari bawahannya, menggunakan simbol-simbol untuk memfokuskan pada kerja keras, mengekspresikan tujuan dengan cara sederhana. Pemimpin mempunyai visi yang menarik untuk masa depan, menetapkan standar yang tinggi bagi para bawahan, optimis dan antusiasme, memberikan dorongan dan arti terhadap apa yang perlu dilakukan. Sehingga pemimpin semacam ini akan memperbesar optimisme dan antusiasme bawahan serta motivasi dan menginspirasi bawahannya untuk melebihi harapan motivasional awal melalui dukungan emosional dan daya tarik emosional. D. Perhatian Individual (Individualized consideration) Perhatian secara individual merupakan cara yang digunakan oleh pemimpin untuk memperoleh kekuasaan dengan bertindak sebagai pembimbing, memberi perhatian secara individual dan dukungan secara pribadi kepada bawahannya. Pemimpin mampu memperlakukan orang lain sebagai individu, mempertimbangkan kebutuhan individual dan aspirasi-aspirasi, mendengarkan, mendidik dan melatih bawahan. Sehingga pemimpin seperti ini memberikan perhatian personal terhadap bawahannya yang melihat bawahan sebagai individual dan menawarkan perhatian khusus untuk mengembangkan bawahan demi kinerja yang bagus. Pimpinan memberikan perhatian pribadi kepada bawahannya, seperti memperlakukan mereka sebagai pribadi yang utuh dan menghargai sikap peduli mereka terhadap organisasi. PENTINGNYA FLEKSIBILITAS KEPEMIMPINAN Dalam organisasi, seperti juga dalam kehidupan lainnya, dibutuhkan fleksibilitas. Ini membantu untuk menanggapi terhadap orang-orang dan situasi-situasi secara tepat dan membuat penyesuaian bila terjadi penyimpangan dari antisipasi. Sebagai manajer/pimpinan/pemimpin, semua orang harus berhati-hati terhadap berbagai macam gaya kepemimpinan yang tersedia. Pengetahuan tentang model kepemimpinan masa kini telah dijelaskan di atas, yang akan membantu kita mengidentifikasikan perilaku kepemimpinan yang tepat. Tetapi semua orang harus menggunakan pengamatannya sendiri untuk mempelajari kepemimpinan dalam situasi-situasi nyata. Penting juga dilakukan percobaan dengan berbagai pendekatan yang berbeda dan mempelajarinya melalui analisis terhadap hasil-hasil. Sebagai manajer/pemimpin/pimpina, perilaku kepemimpinannya akan dipelajari pada jabatannya, saat berinteraksi dengan bawahan, dan tugas-tugas mereka. MEMIMPIN DENGAN HATI Pemimpin yang berhasil adalah yang tidak hanya didukung oleh keterampilan teknis dan kepintaran belaka. Yang tak kalah menentukan adalah emotional intelligence (EQ) yang tinggi. EQ adalah kesanggupan memahami diri sendiri. Seseorang yang memiliki self-awareness yang baik akan mampu mengendalikan dirinya sendiri (self-control) secara efektif. Self-control di sini bukanlah kemampuan seseorang menekan sedalam-dalamnya perasaan di lubuk hati, melainkan kesanggupan mengelola segenap emosinya secara aktif. Pada seorang pemimpin, EQ menjadi dominan lantaran ia bekerja berada dalam satu kelompok, yang dituntut menunjukkan kerjasama team yang solid serta hasil kerja yang efektif. Hanya pemimpin yang terampil dan mampu mengendalikan emosinya secara positif atau bisa bekerja dengan hati, yang dapat diandalkan keberhasilannya. Lima komponen EQ yang dapat menjadi ukuran sukses seorang pemimpin adalah: Mawas diri, yang dimaksudkan disini adalah kesediaan mengakui kekuatan, kelemahan, emosi, kebutuhan dan dorongan diri sendiri. Umumnya ia tahu apa yang diinginkan, dan mengapa menginginkannya. Sehingga, pemimpin ini akan lebih tegas dan fokus pada tujuan dan sasaran. Jika ada sesuatu yang dianggap kurang mendukung sasaran, dengan cepat ia memahami persoalan dan mengubah “kemarahan” menjadi hal yang konstruktif. Pengendalian diri ini merupakan komponen EQ yang membebaskan seseorang dari cengkeraman emosi. Bahkan, pemimpin yang dapat mengendalikan diri mampu mengubah konflik emosional menjadi solusi atau aktivitas yang bermanfaat. Pertimbangan yang patut dipercayai, pemimpin yang dapat mengendalikan diri cenderung rasional dan mampu menciptakan lingkungan saling percaya dan adil. Dengan demikian, ia dapat meredam pertentangan antar anggota di dalam suatu organisasi. Di bawah pemimpin yang bisa mengendalikan diri, anggota team-pun tidak akan gampang mengumbar emosi. Motivasi Komponen ini harus dimiliki pemimpin yang ber-EQ tinggi. Motivasi memacu orang mencapai tuntutan dirinya dan tuntutan orang lain. Motivasi bisa datang dari dalam diri maupun dari luar. Jika seorang pemimpin termotivasi dengan baik, ia akan terlihat senang dengan pekerjaannya, senang mencari tantangan kreatif, serta tentu saja senang meningkatkan kinerja dan mengontrol tingkat keberhasilannya. Akibat lain, pemimpin seperti ini tidak mudah frustasi dan depresi akibat kegagalan yang dialami. Empati Dari semua komponen EQ, empati menempati tempat yang paling mudah dikenali. Empati di sini bukan berarti menyetujui emosi team atau memuaskan mereka begitu saja, melainkan memperhatikan aspirasi karyawan bersama faktor-faktor lain dalam membuat keputusan. Ada tiga alasan mengapa empati sangat penting dalam situasi sekarang, yaitu: 1. peningkatan kebutuhan terhadap kelompok kerja. 2. kecepatan arus globalisasi. 3. kebutuhan menahan anggota team yang berbakat. Ini merupakan pencetusan dari dimensi-dimensi EQ lainnya (mawas diri, pengendalian diri, motivasi internal dan empati). Pemimpin cenderung efektif mengelola hubungan kerja bila mereka bisa memahami orang lain, mampu mengendalikan emosi, dan berempati terhadap orang lain. Mereka yang berketerampilan sosial cenderung memiliki pergaulan luas, pandai menemukan cara berhubungan dengan berbagai tipe orang, dan yakin bahwa tidak ada hal penting yang dilakukan sendirian. Orang-orang yang berketerampilan sosial bisa ahli mengelola team dengan baik, karena empati mereka berfungsi. Mereka juga ahli mempersuasi orang lain dan ini merupakan wujud kombinasi dari mawas diri, pengendalian diri dan empati. Dengan keterampilan itu, diyakini dapat mengembangkan kecakapan yang dipahami sebatas keterampilan teknis dan kemampuan pengetahuan seseorang menjadi kompetensi yang mempunyai cakupan lebih komprehensif, terdiri dari: motif, sifat, citra-diri, peran sosial, pengetahuan dan keterampilan. Kompetensi inilah yang diharapkan menjadi karakter mendasar seorang pemimpin. Sebab, ia bisa mendorong lahirnya kinerja yang efektif dan superior dalam pekerjaan. KEPEMIMPINAN YANG MELAYANI Dalam sebuah buku yang menarik tentang kepemimpinan yang melayani (servant leadership) ditulis oleh Dr. Kenneth Blanchard dan kawan kawan, berjudul Leadership by The Book (LTB). Buku LTB mengisahkan tentang tiga orang karakter yang mewakili tiga aspek kepemimpinan yang melayani, yaitu seorang pendeta, seorang professor, dan seorang profesional yang sangat berhasil di dunia bisnis. Tiga aspek kepemimpinan tersebut adalah hati yang melayani (servant heart), kepala atau pikiran yang melayani (servant head), dan tangan yang melayani (servant hands). Hati Yang Melayani (Karakter Kepemimpinan) Kepemimpinan yang melayani dimulai dari dalam diri kita. Kepemimpinan menuntut suatu transformasi dari dalam hati dan perubahan karakter. Kepemimpinan sejati dimulai dari dalam dan kemudian bergerak ke luar untuk melayani mereka yang dipimpinnya. Disinilah pentingnya karakter dan integritas seorang pemimpin untuk menjadi pemimpin sejati dan diterima oleh rakyat yang dipimpinnya. Paling tidak menurut Ken Blanchard dan kawan-kawan, ada sejumlah ciri-ciri dan nilai yang muncul dari seorang pemimpin yang memiliki hati yang melayani, yaitu: Tujuan paling utama seorang pemimpin adalah melayani kepentingan mereka yang dipimpinnya. Orientasinya adalah bukan untuk kepentingan diri pribadi maupun golongannya tetapi justru kepentingan publik yang dipimpinnya. Entah hal ini sebuah impian yang muluk atau memang kita tidak memiliki pemimpin seperti ini, yang jelas pemimpin yang mengutamakan kepentingan publik amat jarang kita temui di republik ini. Seorang pemimpin sejati justru memiliki kerinduan untuk membangun dan mengembangkan mereka yang dipimpinnya sehingga tumbuh banyak pemimpin dalam kelompoknya. Hal ini sejalan dengan buku yang ditulis oleh John Maxwell berjudul Developing the Leaders Around You. Keberhasilan seorang pemimpin sangat tergantung dari kemampuannya untuk membangun orang-orang di sekitarnya, karena keberhasilan sebuah organisasi sangat tergantung pada potensi sumber daya manusia dalam organisasi tersebut. Jika sebuah organisasi atau masyarakat mempunyai banyak anggota dengan kualitas pemimpin, organisasi atau bangsa tersebut akan berkembang dan menjadi kuat. Pemimpin yang melayani memiliki kasih dan perhatian kepada mereka yang dipimpinnya. Kasih itu mewujud dalam bentuk kepedulian akan kebutuhan, kepentingan, impian dan harapan dari mereka yang dipimpinnya. Ciri keempat seorang pemimpin yang memiliki hati yang melayani adalah akuntabilitas (accountable). Istilah akuntabilitas adalah berarti penuh tanggung jawab dan dapat diandalkan. Artinya seluruh perkataan, pikiran dan tindakannya dapat dipertanggungjawabkan kepada publik atau kepada setiap anggota organisasinya. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang mau mendengar. Mau mendengar setiap kebutuhan, impian dan harapan dari mereka yang dipimpinnya. Pemimpin yang melayani adalah pemimpin yang dapat mengendalikan ego dan kepentingan pribadinya melebihi kepentingan publik atau mereka yang dipimpinnya. Mengendalikan ego berarti dapat mengendalikan diri ketika tekanan maupun tantangan yang dihadapi menjadi begitu berat. Seorang pemimpin sejati selalu dalam keadaan tenang, penuh pengendalian diri dan tidak mudah emosi. Kepala Yang Melayani (Metoda Kepemimpinan) Seorang pemimpin sejati tidak cukup hanya memiliki hati atau karakter semata, tetapi juga harus memiliki serangkaian metoda kepemimpinan agar dapat menjadi pemimpin yang efektif. Banyak sekali pemimpin memiliki kualitas dari aspek yang pertama, yaitu karakter dan integritas seorang pemimpin, tetapi ketika menjadi pemimpin formal, justru tidak efektif sama sekali karena tidak memiliki metoda kepemimpinan yang baik. Tidak banyak pemimpin yang memiliki kemampuan metoda kepemimpinan ini. Karena hal ini tidak pernah diajarkan di sekolah-sekolah formal. Oleh karena itu seringkali kami dalam berbagai kesempatan mendorong institusi formal agar memperhatikan ketrampilan seperti ini yang kami sebut dengan softskill atau personal skill. Dalam salah satu artikel di economist.com ada sebuah ulasan berjudul Can Leadership Be Taught. Jelas dalam artikel tersebut dibahas bahwa kepemimpinan (dalam hal ini metoda kepemimpinan) dapat diajarkan sehingga melengkapi mereka yang memiliki karakter kepemimpinan. Ada tiga hal penting dalam metoda kepemimpinan, yaitu: Kepemimpinan yang efektif dimulai dengan visi yang jelas.Visi ini merupakan sebuah daya atau kekuatan untuk melakukan perubahan, yang mendorong terjadinya proses ledakan kreatifitas yang dahsyat melalui integrasi maupun sinergi berbagai keahlian dari orang-orang yang ada dalam organisasi tersebut. Bahkan dikatakan bahwa nothing motivates change more powerfully than a clear vision. Visi yang jelas dapat secara dahsyat mendorong terjadinya perubahan dalam organisasi. Seorang pemimpin adalah inspirator perubahan dan visioner, yaitu memiliki visi yang jelas kemana organisasinya akan menuju. Kepemimpinan secara sederhana adalah proses untuk membawa orang-orang atau organisasi yang dipimpinnya menuju suatu tujuan (goal) yang jelas. Tanpa visi, kepemimpinan tidak ada artinya sama sekali. Visi inilah yang mendorong sebuah organisasi untuk senantiasa tumbuh dan belajar, serta berkembang dalam mempertahankan survivalnya sehingga bisa bertahan sampai beberapa generasi. Ada dua aspek mengenai visi, yaitu visionary role dan implementation role. Artinya seorang pemimpin tidak hanya dapat membangun atau menciptakan visi bagi organisasinya tetapi memiliki kemampuan untuk mengimplementasikan visi tersebut ke dalam suatu rangkaian tindakan atau kegiatan yang diperlukan untuk mencapai visi itu. Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang yang sangat responsive. Artinya dia selalu tanggap terhadap setiap persoalan, kebutuhan, harapan dan impian dari mereka yang dipimpinnya. Selain itu selalu aktif dan proaktif dalam mencari solusi dari setiap permasalahan ataupun tantangan yang dihadapi organisasinya. Seorang pemimpin yang efektif adalah seorang pelatih atau pendamping bagi orang-orang yang dipimpinnya (performance coach). Artinya dia memiliki kemampuan untuk menginspirasi, mendorong dan memampukan anak buahnya dalam menyusun perencanaan (termasuk rencana kegiatan, target atau sasaran, rencana kebutuhan sumber daya, dan sebagainya), melakukan kegiatan sehari-hari (monitoring dan pengendalian), dan mengevaluasi kinerja dari anak buahnya. Tangan Yang Melayani (Perilaku Kepemimpinan) Pemimpin sejati bukan sekedar memperlihatkan karakter dan integritas, serta memiliki kemampuan dalam metoda kepemimpinan, tetapi dia harus menunjukkan perilaku maupun kebiasaan seorang pemimpin. Dalam buku Ken Blanchard tersebut disebutkan ada empat perilaku seorang pemimpin, yaitu: Pemimpin tidak hanya sekedar memuaskan mereka yang dipimpinnya, tetapi sungguh-sungguh memiliki kerinduan senantiasa untuk memuaskan Tuhan. Artinya dia hidup dalam perilaku yang sejalan dengan Firman Tuhan. Dia memiliki misi untuk senantiasa memuliakan Tuhan dalam setiap apa yang dipikirkan, dikatakan dan diperbuatnya. Pemimpin sejati fokus pada hal-hal spiritual dibandingkan dengan sekedar kesuksesan duniawi. Baginya kekayaan dan kemakmuran adalah untuk dapat memberi dan beramal lebih banyak. Apapun yang dilakukan bukan untuk mendapat penghargaan, tetapi untuk melayani sesamanya. Dan dia lebih mengutamakan hubungan atau relasi yang penuh kasih dan penghargaan, dibandingkan dengan status dan kekuasaan semata. Pemimpin sejati senantiasa mau belajar dan bertumbuh dalam berbagai aspek, baik pengetahuan, kesehatan, keuangan, relasi, dan sebagainya. Setiap hari senantiasi menselaraskan (recalibrating) dirinya terhadap komitmen untuk melayani Tuhan dan sesama. Melalui solitude (keheningan), prayer (doa) dan scripture (membaca firman Tuhan). Demikian kepemimpinan yang melayani menurut Ken Blanchard yang menurut kami sangat relevan dengan situasi krisis kepemimpinan yang dialami oleh bangsa Indonesia. Bahkan menurut Danah Zohar, penulis buku Spiritual Intelligence: SQ the Ultimate Intelligence, salah satu tolok ukur kecerdasan spiritual adalah kepemimpinan yang melayani (servant leadership). Bahkan dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Gay Hendrick dan Kate Luderman, menunjukkan bahwa pemimpin-pemimpin yang berhasil membawa perusahaannya ke puncak kesuksesan biasanya adalah pemimpin yang memiliki SQ yang tinggi. Mereka biasanya adalah orang-orang yang memiliki integritas, terbuka, mampu menerima kritik, rendah hati, mampu memahami orang lain dengan baik, terinspirasi oleh visi, mengenal dirinya sendiri dengan baik, memiliki spiritualitas yang tinggi, dan selalu mengupayakan yang terbaik bagi diri mereka sendiri maupun bagi orang lain.
sumber: soedjatmiko

Comments

Popular Posts